Sabtu, 26 Oktober 2013

Aku jadi tak tenang. Berulang kali terbayang rambut-rambut halus kelamin dan puting merah jambu milik Tante itu. Apalagi menjelang tidur. Tanpa sadar aku mengusap-usap milikku yang tegang terus ini. Tapi aku segera ingat janjiku untuk tidak masturbasi lagi. Mendingan praktek langsung. Tapi dengan siapa ? Hari ini aku pulang cepat. Masih ada dua mata pelajaran sebetulnya, aku membolos, sekali-kali. Toh banyak juga kawanku yang begitu. Percuma di kelas aku tak bisa berkonsentrasi. Di garasi aku ketemu Tante yang siap-siap mau pergi senam. Dibalut baju senam yang ketat ini Tante jadi istimewa. Tubuhnya memang luar biasa. Dadanya membusung tegak ke depan, bagian pinggang menyempit ramping, ke bawah lagi melebar dengan pantat menonjol bulat ke belakang, ke bawah menyempit lagi. Sepasang paha yang nyaris bulat seperti batang pohon pinang, sepasang kaki yang panjang ramping. Walaupun tertutup rapat aku ngaceng juga. Lagi-lagi aku terrangsang. Diam-diam aku bangga, sebab di balik pakaian senam itu aku pernah melihatnya, hampir seluruhnya! Justru bagian tubuh yang penting-penting sudah seluruhnya kulihat tanpa ia tahu! Salah sendiri, teledor sih. Ah, salahku juga, buktinya kemarin aku menyingkap putingnya. “Lho, kok udah pulang, To” sapanya ramah. Ah bibir itu juga menggoda. “Iya Tante, ada pelajaran bebas” jawabku berbohong. Kubukakan pintu mobilnya. Sekilas terlihat belahan dadanya ketika ia memasuki mobil. Uih, dadanya serasa mau “meledak” karena ketatnya baju itu. “Terima kasih” katanya. “Tante pergi dulu ya”. Mobilnya hilang dari pandanganku. ***eo6pAULLin0/UmvYOxylyMI/AAAAAAAAALM/yPvSVAP_2Gk/s200/17015101_memek-non-bulu-bulu-jarang-101.jpg" />“Macam-macam tergantung musimnya, Tante. Kentang, jagung, tomat” Hampir saja aku ketahuan mataku memelototi pahanya. “Kalau kamu mau makan, duluan aja” “Nanti aja Tante, nunggu Oom” Aku memang belum lapar. Adikku mungkin yang “lapar” “Oom tadi nelepon ada acara makan malam sama tamu dari Singapur, pulangnya malam” “Saya belum lapar” jawabku supaya aku tidak kehilangan momen yang bagus ini. “Kamu betah di sini ?” Ia membungkuk memijit-mijit kakinya. Betisnya itu… “Kerasan sekali, Tante. Cuman saya banyak waktu luang Tante, biasa kerja di kampung, sih. Kalau ada yang bisa saya bantu Tante, saya siap” “Ya, kamu biasakan dulu di sini, nanti Tante kasih tugas” “Kenapa kakinya Tante ?” Sekedar ada alasan buat menikmati betisnya. “Pegel, tadi senamnya habis-habisan” Di antara kancing daster yang satu dengan kancing lainnya terdapat “celah”. Ada yang sempit, ada yang lebar, ada yang tertutup. Celah pertama, lebar karena busungan dadanya, menyuguhkan bagian kanan atas buah dada kiri. Celah kedua memperlihatkan kutang bagian bawah. Celah ketiga rapat, celah keempat tak begitu lebar, ada perutnya. Celah berikutnya walaupun sempit tapi cukup membuatku tahu kalau celana dalam Tante warna merah jambu. Ke bawah lagi ada sedikit paha atas dan terakhir, ya yang kancingnya lepas tadi. “Mau bantu Tante sekarang ?” “Kapan saja saya siap” “Betul ?” “Kewajiban saya, Tante. Masa numpang di sini engga kerja apa-apa” “Pijit kaki Tante, mau ?” Hah ? Aku tak menyangka diberi tugas mendebarkan ini “Biasanya sama Si Mar, tapi dia lagi engga ada” “Tapi saya engga bisa mijit Tante, cuma sekali saya pernah mijit kaki teman yang keseleo karena main bola” Aku berharap ia jangan membatalkan perintahnya. “Engga apa-apa. Tante ambil bantal dulu” Goyang pinggulnya itu… Sekarang ia tengkurap di karpet. Hatiku bersorak. Aku mulai dari pergelangan kaki kirinya. Aah, halusnya kulit itu. Hampir seluruh tubuh Tante pernah kulihat, tapi baru inilah aku merasakan mulus kulitnya. Mataku ke betis lainnya mengamati bulu-bulu halus. “Begini Tante, kurang keras engga ?” “Cukup segitu aja, enak kok” Tangan memijit, mata jelalatan. Lekukan pantat itu bulat menjulang, sampai di pinggang turun menukik, di punggung mendaki lagi. Indah. Kakinya sedikit membuka, memungkinkan mataku menerobos ke celah pahanya. Tanganku pindah ke betis kanannya aku menggeser dudukku ke tengah, dan..terobosan mataku ke celah paha sampai ke celana dalam merah jambu itu. Huuuh, sekarang aku betul-betul keras. “Aah” teriaknya pelan ketika tanganku menjamah ke belakang lututnya.

0 komentar:

Posting Komentar